Kontraspedia – Kurator pailit PT Sri Rejeki Isman (Sritex) menghadapi tantangan besar dalam menyelesaikan tagihan utang yang mencapai Rp32,6 triliun. Dari jumlah tersebut, tercatat sekitar Rp1,2 triliun berasal dari tagihan 11 perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga pemilik Sritex. Perusahaan-perusahaan tersebut, yang direkturnya merupakan anggota keluarga pemilik, termasuk Iwan Kurniawan Lukminto selaku Direktur Utama PT Sritex, turut mengajukan tagihan.
Utang terbesar berasal dari kreditor konkuren, yaitu kreditor tanpa jaminan kebendaan, dengan nilai mencapai Rp24,7 triliun. Selain itu, empat bank milik pemerintah, yaitu Bank BJB, BNI, Bank DKI, dan BRI, juga mengajukan tagihan dengan total mencapai Rp4,8 triliun. Namun, berdasarkan data kurator, total aset PT Sritex yang hanya sekitar Rp10 triliun dinilai tidak mencukupi untuk menutup seluruh utang perusahaan. Ketimpangan ini menambah kompleksitas dalam proses penyelesaian kasus kepailitan Sritex.
Kurator juga dihadapkan pada kendala besar dalam menjalankan tugasnya, termasuk upaya penghalangan akses untuk mendapatkan data dan memverifikasi kondisi perusahaan secara langsung. Hingga saat ini, kurator belum pernah bertemu secara langsung dengan Direktur Utama Iwan Kurniawan Lukminto. Padahal, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor pailit sudah tidak memiliki hak atas perusahaan setelah keputusan pailit dijatuhkan.
Sritex dan tiga anak perusahaannya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah salah satu kreditor, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian terkait penundaan kewajiban pembayaran utang pada 2022. Keputusan ini menambah panjang daftar masalah yang dihadapi Sritex, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu pabrik tekstil terbesar di Indonesia.
Dengan posisi strategisnya dalam industri tekstil nasional, pailitnya PT Sritex tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada para pekerja, kreditor, dan sektor tekstil secara keseluruhan. Kurator terus menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku untuk menyelesaikan permasalahan ini, meskipun menghadapi berbagai hambatan.
Harapan besar tertuju pada keberhasilan kurator dalam menyelesaikan proses penyelesaian utang yang rumit ini. Langkah-langkah yang diambil akan menjadi tolok ukur bagi kasus serupa di masa depan, khususnya dalam pengelolaan kepailitan perusahaan besar di Indonesia. Meski menghadapi berbagai kendala, upaya maksimal tetap dilakukan demi memastikan hak para kreditor dan pihak-pihak lain yang terdampak dapat terpenuhi.