Kontraspedia – Seorang anak berinisial RA yang baru berusia 13 tahun menjadi korban dugaan penganiayaan brutal di sebuah pondok pesantren yang terletak di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Insiden ini meninggalkan luka fisik yang cukup parah, seperti lebam di wajah serta luka bakar di punggung dan kaki korban. Kasus ini mencuat ke publik setelah keluarga korban melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Pesawaran. Dalam laporan tersebut, ayah RA menuntut keadilan atas perlakuan yang diterima anaknya.
Kondisi korban yang memprihatinkan terekam dalam sebuah video yang kemudian beredar luas di media sosial. Dalam video tersebut, terlihat jelas luka-luka yang dialami RA, mulai dari wajah yang lebam hingga luka bakar di tubuhnya. RA tampak didampingi orang tuanya saat melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib. Video ini mengundang simpati sekaligus kemarahan publik yang mendesak agar kasus ini segera ditangani secara serius.
Kasat Reskrim Polres Pesawaran, Iptu Defrat Aulia Afrat, mengonfirmasi bahwa laporan telah diterima oleh kepolisian. Menurutnya, laporan tersebut diajukan pada Sabtu malam, 4 Desember 2025, dengan terlapor adalah salah satu pengurus pondok pesantren. Hingga saat ini, pihak kepolisian masih mendalami kasus ini untuk mengungkap fakta-fakta yang lebih mendetail. Langkah penyelidikan dilakukan guna memastikan para pelaku bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Dugaan penganiayaan yang dialami RA tergolong kejam dan tidak manusiawi. Berdasarkan keterangan pelapor, tubuh RA diduga diikat dengan tali sebelum dianiaya. Bahkan, kepala korban dibenturkan ke lantai hingga mengalami luka yang cukup serius. Tidak hanya itu, pelaku juga diduga menggunakan pisau panas untuk menyakiti korban, menyebabkan luka bakar di beberapa bagian tubuhnya. Kejadian ini membuat keluarga korban terpukul, terutama karena tempat yang diharapkan menjadi wadah pendidikan malah menjadi tempat terjadinya kekerasan.
Keluarga RA berharap agar pelaku segera ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Mereka meminta keadilan atas penderitaan yang dialami anak mereka. Selain itu, keluarga korban juga berharap kasus ini menjadi pelajaran agar tindakan kekerasan di dunia pendidikan, terutama di lingkungan pesantren, tidak lagi terulang. Harapan ini juga disuarakan oleh masyarakat luas yang merasa prihatin terhadap nasib RA.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, bukan malah menjadi tempat yang penuh dengan ancaman kekerasan. Tindakan brutal seperti yang dialami RA tidak hanya melukai fisik, tetapi juga mental korban. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, untuk bersama-sama memastikan keselamatan anak-anak di institusi pendidikan.
Hingga berita ini ditulis, polisi masih terus mengembangkan penyelidikan. Publik berharap agar kasus ini segera menemui titik terang dan para pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Tidak hanya itu, masyarakat juga mendesak agar pengawasan di lembaga pendidikan, khususnya pesantren, diperketat. Harapannya, kasus seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi di masa mendatang.
Tragedi yang menimpa RA adalah sebuah peringatan keras bahwa perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas utama, terutama di lingkungan yang seharusnya mendidik mereka. Keadilan bagi korban adalah langkah awal untuk memastikan bahwa hak-hak anak di Indonesia terlindungi dengan baik.