
Kontraspedia – Johan Rosihan, anggota Komisi IV DPR RI, menegaskan bahwa pemagaran laut yang terjadi di wilayah perairan Tangerang, Banten, dan Bekasi, Jawa Barat, memiliki perbedaan yang signifikan. Menurutnya, kedua kasus ini tidak dapat disamakan karena tujuan dan dampaknya yang sangat berbeda.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Johan menjelaskan bahwa pemagaran di Tangerang Utara merupakan persoalan yang merugikan masyarakat nelayan. Hingga saat ini, belum ada kejelasan terkait pihak yang bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Sementara itu, pemagaran laut di Bekasi dinilai sebagai upaya konservasi lingkungan yang melibatkan masyarakat lokal.
Johan menilai bahwa membandingkan kedua kasus tersebut adalah tindakan yang menyesatkan. Ia menegaskan bahwa isu pemagaran misterius di Tangerang Utara tidak dapat dianggap sama dengan pemagaran di Bekasi yang bertujuan untuk konservasi mangrove dan pengendalian abrasi. Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap opini publik yang mencoba menyamakan kedua kasus tersebut.
Menurut Johan, pemagaran di Bekasi adalah contoh pengelolaan pesisir yang berkelanjutan. Ia menyebut langkah tersebut mendukung ekosistem lingkungan tanpa membatasi akses masyarakat nelayan. Sebaliknya, pemagaran di Tangerang justru menimbulkan dampak negatif bagi nelayan kecil karena membatasi area penangkapan ikan mereka.
Selain itu, Johan juga menyoroti kurangnya transparansi terkait izin dan tujuan pemagaran di Tangerang. Ia mengungkapkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya merugikan masyarakat nelayan, tetapi juga menimbulkan keresahan di kalangan publik.
Sebagai tindak lanjut, Johan meminta Pemerintah dan pihak berwenang untuk segera menyelidiki kasus pemagaran laut di Tangerang. Ia menolak segala upaya yang mencoba mengalihkan isu atau membingkai tindakan ini sebagai sesuatu yang positif. Menurutnya, hak-hak nelayan harus dilindungi, dan pihak yang bertanggung jawab harus diungkap.
Johan juga menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Ia berharap kebijakan pengelolaan wilayah pesisir ke depannya lebih berpihak pada masyarakat dan didasarkan pada prinsip keberlanjutan.
Sebelumnya, publik dikejutkan dengan maraknya pemberitaan terkait pemagaran laut berbahan bambu di perairan pesisir utara Kabupaten Bekasi. Pemagaran tersebut membentuk garis panjang menyerupai tanggul dengan hamparan perairan di tengahnya. Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang terkait hal tersebut.
Sementara itu, di Kabupaten Tangerang, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melakukan penyegelan terhadap kegiatan pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Pung Nugroho Saksono, menyampaikan bahwa penyegelan dilakukan karena pemagaran tersebut diduga tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Kasus ini menjadi sorotan karena menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola ruang laut dan keadilan bagi masyarakat nelayan. Johan berharap masalah ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih memperhatikan aspek hukum, sosial, dan lingkungan dalam setiap kebijakan yang menyangkut wilayah pesisir.
Dengan adanya perbedaan yang jelas antara pemagaran di Tangerang dan Bekasi, publik diharapkan lebih memahami konteks masing-masing kasus. Di satu sisi, konservasi lingkungan harus didukung, sementara di sisi lain, pelanggaran hak masyarakat nelayan tidak boleh dibiarkan begitu saja.